Gelap. Berdarah. Penuh teror yang mengiris nurani. Film Pembantaian Dukun Santet (2025) bukan sekadar tontonan horor biasa; ia adalah portal yang membawa penonton menyelami salah satu episode paling kelam dalam sejarah modern Indonesia. Tayang serentak di bioskop sejak 8 Mei 2025, film garapan Azhar Kinoi Lubis ini berani mengangkat tragedi nyata pembantaian dukun santet di Banyuwangi tahun 1998–1999—sebuah peristiwa di mana lebih dari 200 nyawa melayang sia-sia karena stigma dan fitnah.
Diangkat dari thread viral @jeropoint di platform X, film ini memadukan ketegangan horor supranatural dengan kengerian kekerasan manusiawi. Kita diajak mengikuti Satrio (Kevin Ardilova), seorang santri di pesantren Jawa yang hidupnya berubah jadi mimpi buruk ketika kelompok bertopeng hitam—mirip ninja—mulai membantai guru dan santri satu per satu. Mereka adalah korban tuduhan sebagai “dukun santet”, tanpa proses pembelaan, tanpa bukti. Kekacauan sosial ini bukan fiksi belaka: ia adalah replika dari apa yang terjadi 27 tahun silam, ketika ketakutan massal menjelma jadi pembunuhan sistematis.
Fakta sejarah di balik pembantaian dukun santet ini lebih mengerikan daripada fiksi film mana pun. Bermula dari kebocoran data pendataan dukun oleh Bupati Purnomo Sidik—yang sejatinya dimaksudkan melindungi mereka—daftar nama itu berubah jadi daftar mati. Tanda silang di depan rumah menjadi penanda maut: lampu padam, kemudian sekelompok orang muncul untuk menyeret korban ke tempat eksekusi. Korban bukan hanya dukun, tapi juga guru agama, ulama NU, bahkan warga biasa seperti Ngaseha yang nyaris tewas dicekik di sawah setelah dituding sebagai tukang santet.
Film ini dengan cerdas menyelipkan simbol-simbol sejarah kelam itu: poster resminya menampilkan sosok tanpa kepala, kaki tergantung, dan tulang belulang berserakan—metafora brutalitas yang tak terpahami. Nuansa gelap dan kabut di hutan Jawa bukan sekadar latar horor, tapi pengingat bahwa tanah Banyuwangi pernah basah oleh darah orang-orang tak bersalah.
Salah satu pesan paling kuat dari Pembantaian Dukun Santet adalah teka-teki yang hingga kini belum terungkap: siapa dalang sebenarnya? Film ini, lewat penyelidikan Satrio yang menyibak dendam keluarga, menyiratkan kompleksitas motif di balik tragedi itu. Dalam dunia nyata, berbagai teori berseliweran: mulai dari konspirasi politik (teror terhadap pendukung Megawati), balas dendam eks-PKI, hingga konflik lahan. Penelitian Douglas Kammen justru menyoroti faktor agraria: sebagian besar korban adalah petani pemilik tanah, sementara kiai—yang sering jadi tuan tanah—nyaris tak tersentuh.
Komnas HAM telah menetapkan peristiwa ini sebagai pelanggaran HAM berat. Berkas penyelidikan diserahkan ke Kejaksaan Agung, namun tak kunjung ditindaklanjuti dengan berbagai alasan. Dalang intelektualnya tetap menjadi bayangan, sementara ratusan pelaku lapangan hanya dihukum penjara relatif singkat. Film ini, dengan berani, mengingatkan kita bahwa keadilan yang tertunda adalah luka yang belum sembuh.
Di tangan sutradara Azhar Kinoi Lubis dan produser Manoj Punjabi, pembantaian dukun santet tak cuma jadi tontonan menegangkan. Adegan teror di pesantren—tempat suci yang ternoda kekerasan—menjadi kritik sosial tentang betapa rapuhnya peradaban ketika nalar kalah oleh histeria. Pilihan setting tahun 1998 juga relevan: krisis ekonomi dan politik era Reformasi jadi katalisator kerusuhan, cermin bahwa kekerasan sering lahir dari ketidakstabilan.
baca juga : Film Almarhum (2025)
Dengan durasi yang padat, film ini menghindari eksploitasi berlebihan. Akting Kevin Ardilova yang penuh trauma, didukung Aurora Ribero dan Kaneishia Yusuf, membawa emosi autentik ke permukaan. Nuansa lokal yang kental—dari dialog Jawa hingga mitos santet—memperkuat identitas cerita sebagai dongeng kelam Indonesia.
Pembantaian Dukun Santet (2025) adalah pengingat bahwa sejarah kelam janganlah dikubur, tapi dijadikan cermin. Ketika pemerintah lamban menyelesaikan kasus ini secara hukum, medium seni hadir untuk membuka memori kolektif. Film ini memantik pertanyaan: sudahkah kita belajar dari Banyuwangi? Atau stigma dan kebencian masih bisa jadi bom waktu?
Di bioskop, kita mungkin akan meremang melihat hantu-hantu di layar. Tapi hantu sesungguhnya ada di luar sana: dalam bentuk trauma korban yang hidupnya hancur, dalam keadilan yang masih mengambang. Semoga film ini bukan sekadar hiburan, tapi katalis untuk menguak kebenaran yang puluhan tahun tersembunyi. Sebab, seperti petikan dalam film: “Dendam yang tak selesai akan terus menghantui.” Dan bangsa ini tak boleh terus dibayangi hantu masa lalunya sendiri. Tragedi pembantaian dukun santet di Banyuwangi adalah luka kolektif yang menuntut penyelesaian, bukan hanya adaptasi layar lebar.